Karyawan RS Haji Darjad Samarinda Makin Banyak Melapor, Dugaan Pelanggaran Ketenagakerjaan Menguat

Redaksi
15 Mei 2025 00:13
3 menit membaca

Samarinda — Gelombang aduan dari karyawan dan mantan karyawan Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) terus bertambah. Hingga Rabu siang (14/5/2025), jumlah pelapor meningkat menjadi sekitar 50 orang. Mereka menuntut keadilan atas dugaan pelanggaran ketenagakerjaan yang dilakukan oleh manajemen rumah sakit swasta tersebut.

Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Samarinda, M. Reza Pahlevi, menyebut bahwa para pelapor memiliki hak penuh untuk membawa persoalan ini ke ranah hukum, termasuk jika terdapat unsur pidana.

“Seandainya ada wanprestasi atau pelanggaran lainnya, itu harus dilihat dulu. Karena mereka yang lebih memahami permasalahan yang dialami masing-masing,” ujar Reza saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu siang.

Menurut Reza, bentuk pelanggaran yang dilaporkan sangat beragam, sehingga perlu pemetaan kasus secara cermat. Apakah pelanggaran yang terjadi termasuk ranah pidana, pelanggaran ketenagakerjaan, atau berkaitan dengan status hubungan kerja.

Ia juga menekankan pentingnya keseriusan dan kekompakan para pelapor. “Jangan sampai ketika sudah hampir mediasi, malah mundur. Harus solid. Seperti kemarin, yang hadir hanya tiga orang, padahal sekarang jumlahnya sudah sekitar 50,” ungkapnya.

Dari kacamata Disnaker, kasus RSHD Samarinda berpotensi dibawa ke Persidangan Hubungan Industrial (PHI), apalagi jika hak-hak karyawan memang terbukti belum dibayarkan. “Kalau tidak bayar upah, itu sudah cukup alasan masuk ke PHI,” kata Reza.

Keresahan para karyawan bukan tanpa dasar. Dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi IV DPRD Kaltim dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim pada 29 April 2025 lalu, terungkap adanya dugaan penggelapan iuran BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan oleh manajemen RSHD.

Beberapa karyawan mengaku tak pernah menerima kartu BPJS, meski gaji mereka dipotong tiap bulan untuk iuran. Saat meminta slip gaji untuk memeriksa potongan itu, pihak manajemen justru menolak memberikan dengan berbagai alasan.

Mariani, Pengawas Ketenagakerjaan sekaligus Penyidik dari Disnakertrans Kaltim, menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), pelanggaran seperti ini memiliki konsekuensi tegas. Salah satunya adalah sanksi denda atas keterlambatan pembayaran upah.

“Jika gaji tertunggak lebih dari 4 hari, perusahaan wajib membayar denda 5 persen. Dan setiap hari berikutnya dikenai tambahan 1 persen, maksimal hingga 50 persen dalam sebulan,” jelas Mariani.

Contohnya, jika gaji seorang karyawan Rp3 juta per bulan, maka denda maksimal yang harus dibayarkan manajemen bisa mencapai Rp1,5 juta dalam sebulan. Jika belum juga dibayar, denda akan terus bertambah untuk bulan berikutnya.

Tak hanya itu, dugaan pelanggaran lainnya adalah pembayaran upah di bawah Upah Minimum Kota (UMK). Berdasarkan Pasal 88E ayat 2 UU Cipta Kerja juncto Pasal 23 ayat 3 PP 36 Tahun 2021, perusahaan yang membayar di bawah UMK dapat dikenai sanksi pidana penjara 1 hingga 4 tahun, atau denda antara Rp100 juta hingga Rp400 juta.

“Upah yang tidak dibayarkan dan yang tidak sesuai UMK, sanksi pidananya sama. Yang membedakan hanya pasalnya,” tegas Mariani. [FAI/KS]

1 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

@media print { .c-float-ad-left { display: none !important; } .c-float-ad-right { display: none !important; } .c-author { display: none !important; } } .c-float-ad-left { display: none !important; } .c-float-ad-right { display: none !important; } .c-author { display: none !important; } .c-also-read { display: none !important; } .single-post figure.post-image { margin: 30px 0 25px; } #pf-content img.mediumImage, #pf-content figure.mediumImage { display: none !important; }