PELABUHAN Lok Tuan, Bontang, Kalimantan Timur akhir pekan ini terlihat lebih ramai dari biasanya. Sejumlah loket pembelian tiket kapal juga sudah ludes terjual.
Calon penumpang dan keluarga sudah memesan tiket untuk tujuan Sulawesi Selatan. Lonjakan penumpang juga terdata meningkat signifikan. Bahkan, muatan kapal ekstra dari kapasitas seharusnya.
Ramainya orang memesan tiket hari-hari belakangan ini boleh jadi sebagai upaya agar lolos dari larangan waktu mudik. Ya, pemerintah telah menetapkan waktu larangan mudik Lebaran pada 6 hingga 17 Mei 2021. Presiden Joko Widodo menyampaikan larangan itu dilakukan di tengah pandemi Covid-19 yang belum juga usai.
Kita sudah menjalani dua kali Ramadan di tengah pandemi. Kondisi ini telah menimbulkan berbagai dampak. Terkait mudik, pemerintah tentu belajar dari pengalaman tahun lalu. Kasus Covid-19 meningkat begitu cepat pasca-masa libur Lebaran, lalu disusul libur-libur lainnya.
Karena itu, sikap tegas pun dikeluarkan, melarang warga melakukan perjalanan mudik, terkecuali untuk kasus-kasus tertentu. Upaya-upaya pencegahan arus mudik terjadi sudah disiapkan. Aparat kepolisian di berbagai wilayah sudah disiagakan mengawal masa-masa larangan mudik itu pada sejumlah titik strategis.
Penjualan tiket untuk sarana angkutan lain, seperti kereta api, pesawat udara, pelayaran pun diatur sedemikian rupa. Sistem penjualan tiket dikunci pada periode larangan mudik 6-17 Mei 2021. Pemerintah saat ini sudah mengeluarkan Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442 H/Tahun 2021 Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Mudik, bagi masyarakat Indonesia, sangatlah unik. Zaman berubah, teknologi terus berkembang, tapi tradisi mudik tak bisa digantikan oleh kecanggihan teknologi apa pun. Sebagian masyarakat rasanya kurang lengkap jika Lebaran tidak melakukan mudik ke kampung halaman.
Semua lapisan masyarakat dari masyarakat kelas atas hingga masyarakat akar rumput secara bersamaan melakukan mudik. Mudik sudah tertanam kuat dalam realitas sosial kultural masyarakat Indonesia. Mudik sudah berlangsung lintas generasi dan diwariskan secara turun-temurun.
Berjumpa dengan orang tua, keluarga, tetangga, teman-teman lama adalah momentum yang dinanti. Bisa sungkeman, sowan, silaturahim atau apalah istlahnya, intinya adalah bertemu bersama-sama.
Relasi sosial, kultural, dan emosilah yang mengikat jutaan warga Indonesia untuk melakukan mudik. Kampung halaman menjadi ruang autentik seseorang berasal. Tak heran, banyak orang-orang yang bekerja keras dan banting tulang di kota untuk mencari nafkah. Lalu, saat tiba waktunya mudik, kecintaan terhadap kampung halaman membuat mereka kembali tidak hanya pulang dengan tangan kosong.
Banyak pemudik yang pulang dengan niat mulia, menyucikan diri dengan bersedekah. Pemudik memanfaatkan Lebaran sebagai penyucian harta selama banting tulang di kota. Berbagi bersama, terutama pada keluarga dekat, lalu tetangga adalah hal yang juga dinanti dan akan dikenang.
Di kalangan keluarga, membagikan THR sudah menjadi bagian tak terpisahkan. Dari anak-anak sampai dewasa akan mendapat THR. Bukan nilai yang penting, melainkan adanya THR adalah simbol berbagi kebahagiaan.
Kehangatan bersama keluarga menjadi momen yang sangat istimewa. Seolah tak bisa diwakili oleh kecanggihan teknologi apa pun. Inilah yang membuat orang-orang selalu kangen ingin mudik.
Masalahnya, pada masa pandemi seperti sekarang ini, hal-hal seperti itulah yang dilarang. Mana ada kumpul-kumpul tanpa bisa menjamin tetap jaga jarak? Mana ada kumpul-kumpul tanpa diselingi makan-makan yang membuat kita harus melepas masker?
Jujur, gamang melihat kondisi ini. Tapi, mau bagaimana lagi. Mudik duluan sebelum dilarang, tentu tak menjadi jaminan di kampung halaman sana, virus Covid-19 ini tak merebak dari mereka yang mudik duluan. Protokol kesehatan? Ya … mari saling mengingatkan untuk mematuhinya. Salam sehat Kota Bontang. **
Ditulis: Suriadi Said
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bontang
2 komentar tentang “Berlomba-lomba Mudik sebelum Dilarang”