Tak Ada Lagi TPS Liar! Ini 7 Tahap Baru Penilaian Adipura 2025

Redaksi
5 Agu 2025 09:10
Ragam 0
3 menit membaca

PANGKEP – Pemerintah mengubah total sistem penilaian Adipura 2025. Tak lagi sekadar mengejar piala kota bersih, tetapi benar-benar mengukur keseriusan daerah dalam mengelola sampah dari hulu ke hilir.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengatakan sistem baru ini dibuat untuk mencegah rekayasa kondisi lapangan yang kerap terjadi saat tim penilai datang.

“Kita buat tujuh tahap penilaian. Dari proses paling awal hingga ke ujung, semua dicek. Supaya tidak bisa lagi direkayasa,” tegas Hanif, Senin (4/8/2025).

Penilaian Adipura tahun ini dimulai sejak Juli 2025 dan akan berlangsung hingga Januari 2026. Pengumuman hasil akan dilakukan bertepatan dengan Hari Sampah Nasional, yakni 21 Februari 2026.

Tujuh tahapan itu mencakup pemantauan langsung, evaluasi kebijakan, hingga peninjauan infrastruktur. Tidak ada lagi ruang untuk memoles kota secara instan.

“Tahun lalu ada yang ‘lembur bersih-bersih’ sampai pegawai tidak tidur demi menyiapkan kondisi fiktif. Tahun ini tidak bisa begitu lagi,” tambah Hanif.

Ada tiga aspek utama yang menjadi bobot penilaian:

  • Pengelolaan sampah dan kebersihan – 50 persen
  • Anggaran dan kebijakan lingkungan – 20 persen
  • Sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas – 30 persen

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pangkep, Akbar Yunus, mengapresiasi sistem baru ini.

“Perubahan ini jadi momentum bagi daerah untuk serius. Bukan hanya demi piala, tapi demi lingkungan dan masa depan yang lebih hijau,” katanya

Dia menilai aspek kebijakan, pemerintah menilai proporsi anggaran pengelolaan sampah terhadap APBD, keberadaan regulasi daerah, serta penguatan kelembagaan dalam ekonomi sirkular.

Sementara dari sisi SDM, indikatornya mencakup jumlah petugas kebersihan, tenaga penyuluh, dan keberadaan fasilitas pengolahan sampah dari hulu ke hilir.

Yang paling penting: tidak boleh ada TPS liar dan TPA harus terkendali (controlled landfill).

Dalam sistem baru ini, pemerintah menegaskan bahwa TPA bukan tempat semua sampah. Daerah wajib memilah dan mengolah sampah sejak dari rumah tangga. Maksimal hanya 23 persen residu dari total timbulan sampah harian yang boleh dibuang ke TPA.

“Ini akan memaksa daerah memperkuat sistem pengurangan, daur ulang, dan pemanfaatan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan,” jelas Akbar Yunus.

Dari seluruh rangkaian penilaian, kata dia, akan ada empat peringkat Adipura dari total skors yang diperoleh dari masing-masing kota. Keempatnya, antara lain:

  1. Predikat Adipura: Untuk daerah dengan capaian tinggi secara keseluruhan dan memenuhi kriteria utama dari ketiga dimensi penilaian
  2. Adipura Kencana: Untuk kota dengan TPA sanitary landfill dan hanya residu, dengan pengelolaan sampah 50-100 persen, memiliki anggaran dan sarana prasarana yang baik, serta nihil TPS liar. Menteri Hanif menyebut peringkat ini sulit didapat. “Melihat seluruh kota saat ini, saya agak pesimis ada kota dengan predikat adipura kencana,” tuturnya.
  3. Sertifikat Adipura: Untuk daerah yang memenuhi standar minimum kinerja pengelolaan sampah dan kebersihan.
  4. Predikat Kota Kotor: Peringatan tertutup untuk daerah dengan kinerja paling rendah. Untuk kota dengan TPA Open Dumping, TPS Liar, pengelolaan sampah kurang dari 25 persen, dan tidak memiliki anggaran, sarana dan prasarana yang memadai.

Sistem Adipura 2025 juga akan dimasukkan ke dalam RPJMN 2025–2029, serta dijadikan bagian wajib dalam RPJMD provinsi dan kabupaten/kota. Ini agar program kebersihan dan pengelolaan sampah tidak hanya berjalan sesaat, tapi jadi komitmen jangka menengah yang berkelanjutan.

“Penghargaan Adipura sekarang bukan cuma simbol bersih-bersih. Tapi bukti nyata bahwa kota itu punya manajemen lingkungan yang serius,” tegas Akbar Yunus. (RE/IR)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

@media print { .c-float-ad-left { display: none !important; } .c-float-ad-right { display: none !important; } .c-author { display: none !important; } } .c-float-ad-left { display: none !important; } .c-float-ad-right { display: none !important; } .c-author { display: none !important; } .c-also-read { display: none !important; } .single-post figure.post-image { margin: 30px 0 25px; } #pf-content img.mediumImage, #pf-content figure.mediumImage { display: none !important; }