TENGGARONG, newsborneo.id – Ribuan tahun lalu hiduplah Maharaja Kundungga. Ia raja yang mulia. Putranya termasyur, sang Aswawarman namanya. Ia seperti sang Ansuman, Dewa Matahari, menumbuhkan keluarga yang sangat mulia.
Sang Aswawarman mempunyai tiga putra, seperti tiga api yang suci. Yang terkemuka ialah sang Mulawarman. Ia raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri emas yang amat banyak. Sebagai peringatan selamatan itu, tugu batu didirikan oleh para Brahmana.
Kisah itu menarasikan kehidupan di pedalaman Kalimantan Timur ribuan tahun yang lalu. Cerita dalam salah satu prasasti yupa yang ditemukan di Muara Kaman, situs Banua Lawas itu, membuktikan bahwa kerajaan bercorak India telah berdiri di Kalimantan Timur pada abad ke-5.
Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Kaladesa, Awal Sejarah Nusantara, belum ada informasi soal nama kerajaan di Kalimantan Timur itu. Dalam kajian lebih lanjut kerajaan di Kalimantan Timur kemudian dinamakan Kutai Kuno karena memang peninggalannya ditemukan di wilayah Kutai. Namun, banyak sumber yang menyebut Kutai Martadipura.
Dalam Asia Tenggara Masa Hindu Buddha, George Coedѐs menyebut tujuh prasasti dibuat ketika Mulawarman berkuasa. Dalam prasasti itu, dia disebut cucu Kundungga. “Namanya barangkali nama Tamil atau Austronesia, tetapi pasti bukan Sanskerta,” tulis Coedѐs.
Agus berpendapat Kundungga memang bukan pendatang dari India, melainkan dari wilayah lain di Nusantara yang kemudian datang ke wilayah Kutai Kuno. “Nama diri yang agak mirip dengan Kundungga adalah Kadungga sebagai nama diri seorang Bugis,” tulis Agus.
Menurut Agus mungkin kakek Mulawarman memang orang Nusantara asli yang belum sepenuhnya menerima agama India. Barulah pada masa penggantinya, budaya India diterima dengan baik. Misalnya, nama anak dan cucu Kundungga, yaitu Aswawarman dan Mulawarman, sama-sama berakhiran –warman, nama yang sering dipakai raja-raja di India.
Di luar keterangan itu, semua prasasti yang ada lebih sering membicarakan ritual agama Raja Mulawarman. Sehingga sulit untuk mengungkapkan kehidupan masyarakat yang tinggal di kerajaan kuno itu. Tujuh prasasti yupa yang ditemukan tak ada yang benar-benar membicarakan masyarakatnya. Namun bukan mustahil membayangkan bagaimana masyarakatnya waktu itu.
Prasasti menyebut Aswawarman sebagai pendiri dinasti. Dia memulai kerajaan dengan pola pemerintahan di India. Selain memakai nama –warman, prasasti-prasasti Mulawarman juga mempergunakan bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa. Ini menunjukkan masyarakatnya sudah hidup dalam suasana peradaban India.
Pasalnya, Sanskerta bukanlah bahasa rakyat sehari-hari melainkan bahasa resmi keagamaan. Dengan demikian, telah ada golongan masyarakat yang menguasai bahasa ini yaitu kaum Brahmana.
Suwardono, pengajar pendidikan sejarah di IKIP Budi Utomo Malang, dalam Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha menjelaskan, kaum Brahmana merupakan golongan tersendiri di dalam masyarakat Kutai Kuno.
Golongan ini diberitakan dalam salah satu prasasti bahwa Raja Mulawarman memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana. Dalam prasasti lain, dia mengadakan kenduri emas yang sangat banyak. Hampir semua prasasti menjelaskan golongan Brahmana yang mendirikan yupa sebagai peringatan kebaikan budi sang raja.
Golongan berikutnya adalah kaum Kesatria. Mereka terdiri dari kerabat Mulawarman. Golongan ini mungkin masih terbatas pada keluarga raja. Kemudian ada golongan Waisya yang diduga merupakan golongan pedagang.
Berdasarkan dua prasasti Mulawarman dapat diketahui bahwa di Kutai Kuno ada tempat suci bernama Waprakeswara. Banyak teori soal arti nama itu. Menurut Suwardono, Waprakeswaraberasal dari kata vapra atau pagar, yang maksudnya tempat berpagar. Mungkin semacam punden desa.
Sementara Poerbatjaraka, filolog dan ahli Jawa Kuno, mengartikan Waprakeswara sebagai nama lain dari Agastya, yaitu resi utama, murid Siwa. Berdasarkan pengertian itu, Suwardono berpendapat, kemungkinan Mulawarman sudah menganut agama Siwa.
Namun, menurut Agus, kala itu pemujaan terhadap Trimurti belum muncul. Masyarakat Kutai Kuno secara khusus memuliakan Dewa Surya dengan segala aspeknya.Prasasti menyebut Aswawarman, ayah Mulawarman, sebagai Sang Ansuman atau Dewa Matahari.
“Mengapa dianggap sebagai Dewa Matahari dan bukan dewa lainnya?”
Pada masa itu, Agus menjelaskan, kedudukan Dewa Matahari memang sangat penting. Tak heran jika Aswawarman dalam prasasti juga diidentifikasikan sebagai pendiri dinasti.
Dalam mitologi, Surya dianggap menurunkan Manu atau manusia pertama. Adapun manusia pada umumnya yang dimaksud adalah masyarakat di Kerajaan Kutai. Dengan begitu, Surya merupakan permulaan seluruh alam semesta. Tak heran bila putranya yang terutama dinamakan Mulawarman (mula).
“Mulawarman mengaitkan dirinya dengan Dewa Surya, salah satu dewa terpenting dari religi Weda kuno,” tulis Agus.
Makin jelas lagi ketika ayah Mulawarman juga mengambil unsur nama Aswa atau kuda. Binatang itu merupakan hewan kendaraan bagi Dewa Matahari.
“Mungkin pada masa selanjutnya baru berkembang ritus pemujaan Hindu-Siwa yang mengutamakan konsep Trimurti dengan dewa utama Siwa Mahadewa,” tulis Agus.
Perkembangan Hindu Siwa sangat mungkin terjadi setelah periode Mulawarman. Pasalnya, agama itu baru dianut di Jawa pada pertengahan abad ke-8 M. (hs)