BONTANG – Permasalahan internal di lingkungan Universitas Trunajaya (Unijaya) Bontang kembali mencuat ke publik. Mantan Rektor Universitas Trunajaya (Unijaya) Bontang, Bilher Hutahaean bersama dengan empat dosen lainnya, menagih pembayaran gaji mereka yang sudah tertunggak selama kurun waktu setahun hingga lima tahun terakhir.
Empat dosen yang dimaksud yakni Raidon Hutahaean yang juga menjabat sebagai mantan Wakil Rektor I, Martopan Abdullah sebagai mantan Wakil Rektor II, Bachnur Effendi sebagai mantan Wakil Rektor III, serta Rosianton Herlambang sebagai salah satu Dosen di Fakultas Hukum.
Bilher menyebut, jika ditotal dari lima nama dosen tersebut, nilai tunggakan mencapai lebih dari Rp 200 juta dengan nominal yang berbeda-beda. Pihaknya mengaku, sudah mencoba menyurati pihak yayasan (Yayasan Pendidikan Miliana) sebagai pihak yang mengelola seluruh keuangan di kampus, namun hingga kini tidak mendapatkan jawaban.
“Itu baru kami berlima. Belum dosen-dosen yang lain. Termasuk tenaga administrasi dan kebersihan. Kalau itu dikumpulkan semua, nilainya bisa sampai satu miliar lebih. Namun karena tidak dikuasakan ke kami, jadi yang menuntut hanya kami berlima,” kata Bilher saat menggelar konferensi pers di salah satu kafe di bilangan Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Api-Api, Jumat (19/1/2024).
Pihaknya juga sudah berupaya melakukan mediasi Bipatrit selama dua kali, namun pihak yayasan selalu tidak pernah hadir. Untuk itu pihaknya memutuskan melaporkan hal ini ke Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker), dan saat ini sengketa itu masih terus berproses.
Selain menuntut haknya, kelima dosen tersebut juga mempertanyakan pengangkatan rektor dan dekan baru di Unijaya. Bila mengacu pada statuta yang dibuat Yayasan Pendidikan Miliana (Unijaya), kata Bilher, maka mekanisme tersebut tidak sah. Sebab terdapat beberapa hal yang dilanggar. Di antaranya tidak melibatkan rektor dan wakil rektor dalam proses pengangkatannya. Bahkan tidak ada proses serah terima jabatan (sertijab) yang dilakukan antara rektor lama dengan rektor baru.
“Bahkan ada dosen yang sudah mengundurkan diri, justru jadi dekan. Statusnya juga bukan sebagai dosen tetap. Padahal untuk jadi dekan harus sebagai dosen tetap (memiliki Nomor Induk Dosen Nasional). Batas usianya juga sudah lewat, di atas 60 tahun. Senat-senat juga tidak dilibatkan dalam proses pengangkatan,” bebernya.
Dengan adanya mekanisme pengangkatan yang tidak sesuai aturan tersebut, dinilai bisa berdampak pada keabsahan ijazah mahasiswa. Apalagi saat ini, sebut Bilher, nama yang masih tercatat sebagai Rektor Unijaya di laman Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) adalah dirinya. Sehingga yang seharusnya berhak mengeluarkan ijazah adalah dirinya, bukan rektor yang baru diangkat.
Bilher bersama empat dosen lainnya, juga berupaya meminta Surat Keputusan (SK) pengangkatan rektor dan denat baru kepada yayasan. Namun hingga kini surat permintaan tersebut tak kunjung ditanggapi alias tidak pernah diberikan. Untuk itu, pihaknya telah mengajukan gugatan ke Komisi Informasi Provinsi Kaltim di Samarinda. Tujuannya memaksa yayasan memberikan SK tersebut. Jika pihaknya berhasil mendapatkan SK itu, sambung Bilher, langkah selanjutnya yang akan ditempuh yakni mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum untuk membatalkan SK Rektor dan Dekan yang baru ke Pengadilan Negeri (PN) Bontang.
“Rencananya Selasa (23/1/2023) besok kami akan mengikuti sidang kedua di Samarinda,” terang Bilher.
PUNGUTAN TAMBAHAN DINILAI BERPOTENSI PUNGLI
Dampak dari adanya pergantian rektor dan dekan di tubuh Unijaya, dinilai Bilher dan kawan-kawan, menimbulkan kesimpangsiuran dalam hal administrasi pembayaran mahasiswa. Bilher menyampaikan, semasa dirinya menjabat sebagai Rektor Unijaya, telah dilakukan pembayaran pelunasan kepada mahasiswa semester akhir untuk biaya yudisium, ijazah, dan wisuda senilai Rp 8 juta. Namun belakangan diketahui, di masa kepemimpinan rektor yang baru, mahasiswa dimintai kembali biaya Rp 2 juta untuk keperluan hal yang sama. Ancamannya bila tidak melunasi, maka ijazah akan ditahan.
“Harusnya jangan sampai mahasiswa diberatkan lagi. Ini ada mengarah ke pungli (pungutan liar). Yang jelas hal ini akan kami konsultasikan ke Aparat Penegak Hukum. Kalau terbukti pungli, maka uang itu harus dikembalikan ke mahasiwa,” sebut Rosianton menambahkan.
Dikonfirmasi terpisah, Rektor Unijaya, Yophie Turang, memilih hemat bicara menanggapi hal ini. Prinsipnya, kata dia, kejadian ini telah berproses baik di Ombudsman maupun Komisi Informasi, sehingga tidak perlu lagi melibatkan dirinya dalam . Terkait proses pengangkatannya menjadi rektor, dirinya pun juga menyebut hal itu sudah sesuai statuta.
“Silahkan saja kalau mereka mempertanyakan itu. Urgensi mereka apa, jangan hanya mengada-ada,” jawabnya.
Ditanya soal adanya pungutan tambahan, Yophie menjelaskan jika hal itu merupakan kebijakan di masa kepemimpinannya. Hal itu pun dilakukan dengan pertimbangan yang mendasar.
“Justru permasalahan itu (pungutan ke mahasiswa) sebenarnya muncul di zaman mereka (Bilher). Kenapa saat itu tidak diselesaikan oleh mereka,” tutupnya singkat.
Redaksi berupaya mengonfirmasi ke pihak Yayasan Pendidikan Miliana, Cely. Namun beberapa kali ditelepon, tak diangkat. Pesan singkat pun dikirim sekira pukul 14.49 Wita melalui aplikasi Whatsapp, namun juga tidak mendapatkan respon. (*)