SANGATTA – Ketua Persatuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) se-Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Ridwan Abdul Razak, angkat bicara soal dugaan penyelewengan dana desa di Desa Bumi Etam, Kecamatan Kaubun.
Ia meminta Inspektorat Wilayah (Itwil) Kutim tidak hanya memberi tenggat pengembalian dana, tapi langsung mengambil langkah tegas.
Kasus ini mencuat setelah Itwil Kutim menemukan penggunaan dana desa untuk keperluan di luar ketentuan.
Namun, alih-alih membawa kasus ini ke ranah hukum, inspektorat justru memberi waktu tiga bulan untuk mengembalikan dana tersebut.
Bagi Ridwan, kebijakan itu terlalu lunak dan berisiko.
“Kalau waktu tiga bulan diberikan, saya rasa kurang tepat. Harusnya ada tindakan tegas dulu, efek jeranya dulu. Kalau hanya diberi waktu, pelaku bisa saja melarikan diri seperti kasus sebelumnya,” tegasnya, Rabu (13/8).
Ia menilai, langkah ini tidak memberi efek jera di tengah maraknya penyalahgunaan dana desa.
Bahkan, keputusan itu dinilai membuka peluang bagi pelaku untuk menghilangkan jejak atau kabur.
Ridwan juga heran dengan mekanisme pencairan dana desa yang dinilainya longgar.
Ia mempertanyakan bagaimana pencairan bisa terjadi tanpa tanda tangan kepala desa.
“Siapa di balik ini? Tidak mungkin dia bisa leluasa menggunakan anggaran itu. Dana yang digunakan itu dana-dana silpa. Sungguh miris melihatnya,” ujarnya.
Menurutnya, kelemahan ini adalah cermin lemahnya sistem pengawasan internal.
Jika mekanisme pencairan mudah ditembus tanpa otorisasi resmi, potensi penyelewengan akan selalu terbuka.
Kutim memiliki 139 desa yang mengelola dana miliaran rupiah setiap tahun.
Jika satu kasus dibiarkan tanpa proses hukum, bukan tidak mungkin desa lain akan mengikuti jejak yang sama.
Selain itu, kebijakan Itwil Kutim ini dinilai bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang digaungkan pemerintah pusat.
Di tingkat nasional, pelaku penyalahgunaan dana desa kerap dijatuhi hukuman penjara.
Namun di Bumi Etam, pelaku justru diberi kesempatan “menebus” kesalahan dengan uang.
Ridwan menegaskan, publik kini menunggu langkah aparat penegak hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan.
Jika hanya mengandalkan pengembalian dana, kata dia, keadilan untuk masyarakat desa sulit tercapai.
“Kasus ini menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah. Sistem pencairan harus diperkuat, audit diperketat, dan semua pejabat desa harus memahami risiko hukum dari setiap penyalahgunaan,” pungkasnya. (HAF)
Tidak ada komentar