Sidang Lanjutan MK Terkait Kampung Sidrap, Peta Lampiran UU 47/1999 Tak Memenuhi Syarat

Plh Direktur Jenderal Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Amran yang mewakili pemerintah untuk memberikan keterangan pada sedan lanjutan pengujian Undang-Undang tentang Pembentukan Kota Bontang, Kamis (18/07) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

JAKARTA Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan lanjutan pada Kamis (18/7/2024) untuk mendengar keterangan dari DPR dan Presiden terkait Perkara Nomor 10/PUU-XXII/2024.

Permohonan ini menguji Undang-Undang (UU) Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang yang telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2000. Inti dari permohonan ini adalah mempersoalkan batas wilayah Kota Bontang.

Plh Direktur Jenderal Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, Amran, menjelaskan bahwa peta yang menjadi lampiran UU 47/1999 memiliki pola yang sama dengan peta yang menjadi lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1989 tentang Pembentukan Kota Administratif Bontang. Namun, jika dilihat dari persyaratan kartografis pembuatan peta, peta lampiran UU 47/1999 tidak memenuhi syarat.

“Peta Lampiran UU 47/1999 kurang sempurna secara teknis pemetaan sehingga dapat menimbulkan multitafsir,” ujar Amran di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta, Kamis 18 Juli 2024.

Ia juga menyebutkan bahwa pola penarikan garis batas pada UU 47/1999 terlihat melengkung ke bawah, berbeda dengan PP 20/1989 yang menarik garis lurus dari garis pantai hingga bertemu batas antara Kota Bontang, Kabupaten Kutai Timur, dan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Permasalahan Teknis Peta

Amran menjelaskan bahwa skala yang digunakan pada peta lampiran UU 47/1999 adalah 1:250.000, yang termasuk skala sedang. Jika peta tersebut dijadikan dasar penentuan batas wilayah, maka dapat menyebabkan multitafsir dan kesalahan besar pada kondisi eksisting di lapangan.

Selain itu, koordinat grid peta lampiran UU 47/1999 jika dilakukan rektifikasi/georeferencing akan mengalami pergeseran yang cukup besar, membuat gambar atau objek pada peta tidak tergambar jelas sehingga tidak dapat dijadikan acuan.

Pemerintah Kota (Pemkot) Bontang, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Timur, dan Pemkab Kutai telah sepakat melakukan pelacakan batas dan pemasangan pilar batas yang hasilnya dituangkan dalam Laporan Pelaksanaan Pemasangan Pilar Utama Batas Wilayah Daerah Kota Bontang terhadap Kabupaten Kutai dan Kabupaten Kutai Timur pada 30 April 2002.

Meskipun peta lampiran UU 47/1999 tidak memenuhi syarat kartografi, Pemkot Bontang, Pemkab Kutai Timur, dan Pemkab Kutai sepakat terhadap batas-batas wilayah tersebut.

Pada 11 Mei 2005, Bupati Kutai Timur dan Wali Kota Bontang sepakat menetapkan batas wilayah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).

Perluasan Kota Bontang akan diusulkan setelah Permendagri tersebut dikeluarkan. Namun, Pemkab Kutai Timur tidak menyetujui perluasan Kota Bontang ke kawasan Sidrap, sehingga perluasan belum terlaksana.

Dalam sesi pendalaman oleh hakim, Analis Kebijakan Ahli Muda Ardi Eko Wijoyo menjelaskan bahwa perluasan Kota Bontang ke kawasan Sidrap telah difasilitasi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, tetapi Pemkab Kutai Timur tidak setuju.

Ketua MK Suhartoyo menunda sidang hingga Rabu, 31 Juli 2024 pukul 10.30 WIB untuk mendengarkan keterangan DPR dan pihak-pihak terkait. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

@media print { .c-float-ad-left { display: none !important; } .c-float-ad-right { display: none !important; } .c-author { display: none !important; } } .c-float-ad-left { display: none !important; } .c-float-ad-right { display: none !important; } .c-author { display: none !important; } .c-also-read { display: none !important; } .single-post figure.post-image { margin: 30px 0 25px; } #pf-content img.mediumImage, #pf-content figure.mediumImage { display: none !important; }