newsborneo.id – Draf revisi Undang-Undang alias RUU Penyiaran yang tengah digodok DPR RI menuai banyak kritik, terutama oleh jurnalis/wartawan. Mereka menilai ada sejumlah pasal dalam beleid tersrbut bakal menggangu kerja-kerja jurnalistik, yang juntrungnya membatasi kebebebasan pers dan menyensor pemberitaan kritis.
Sejumlah jurnalis Bontang lintas media yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI Bontang, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda, dan Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Kaltim membedah sejumlah pasal bermasalah ini dalam diskusi bertajuk “Bagaimana Pers Dibungkam dengan RUU Penyiaran? Wartawan Daerah Bisa Apa?”. Kegiatan yang digelar di sebuah kafe bilangan Pattimura ini menghadirkan 3 narasumber, yakni Direktur PKTV Bontang, Teguh Suharjono; Pemred Kitamudamedia.com Kartika Anwar; dan Pemred Pranala.co, Suriadi Said.
Paparan pertama terkait konten yang disiarkan di platform digital mesti diatur dan diawasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dibedah oleh Teguh Suharjono. Teguh mengatakan bahwa keberadaan beleid ini, sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Nomor 4, 9, dan 17 jelas membuat kewenangan KPI jadi terlalu luas. Keberadaan KPI jelas untuk mengatur atau sebagai “polisi” bagi penyiaran konvensional, namun kini kewenangannya mau diperluas dengan mengatur konten yang tayang di platform digital. Kata Teguh, keberadaan pasal ini jelas bisa mengancam kebebasan berekspresi warga, termasuk para pembuat kontem (content creator).
Direktur PKTV itu juga menegaskan bahwa upaya perluasan kewenangan KPI jelas sangat politis. Dia bilang bahwa aktor kunci di KPI pada hakikatnya mememiliki keterikatan dengan Komisi I DPR RI yang sebenarnya tak memiliki hubungan dengan penyiaran.
“KPI tidak selalu murni mewakili penyiaran. Ada keterkaitan antara KPI dan Komisi I DPR RI yang tak terkait dengan penyiaran, yang teman-teman sebebarnya bisa maknai sendiri relasi seperti apa itu,” ujarnya.
Dia pun menegaskan bahwa keberadaan draft RUU Penyiaran ini sejak awal sudah gelap pembahasannya. Ruang bagi publik, terutama insan pers untuk berpartisipasi minim. Walhasil ketika draft sampai ke Dewan Pers, ia kemudian dibahas secara sporadis ke seluruh konstituen, baik organisasi profesi maupun asosiasi media. Yang hasilnya, mereka secara tegas menolak RUU ini.
“Jurnalis harus secara tegas menolak draft ini. Saya bahkan mendorong teman-teman mengambil langkah konkret melakukan penolakan. Misalkan produksi karya jurnalisme investigasi sebanyak mungkin karena banyak hal di Bontang ini bisa diinvestigasi,” tegasnya.
Paparan kedua terkait larangan penayangan jurnalisme investigasi diulas oleh Kartika Anwar. Seperti diketahui, dalam pasal 52B ayat (2) beleid itu mengatue tentang larangan isi siaran dan konten siaran. Larangan ini meliputi penayangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi hingga konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik.
Dalam kesempatan itu, Tika mengatakan bahwa keberadaan pasal ini jelas mengacam demokrasi. Mengapa demikian, sebab kerja-kerja jurnalistik dihalangi. Kerja-kerja jurnalistik, kata Tika, tentu merupakan bagian dari kontrol sosial. Terlebih di era banjir informasi seperti saat ini, di mana setiap orang bisa menyebarkan apapun di media sosial, apapun yang viral bisa jadi berita, keberadaan jurnalisme investigasi justru menjadi nyawa dari jurnalisme itu sensiri.
“Kalau jurnalisme investigasi dilarang, bukan cuma jurnalis saja dirugikan, tapi juga warga. Karena keberadaan pasal ini membarasi ruanh bagi warga, jurnalis untuk mengawasi kerja pemerintah,” sebut perempuan yang juga menjabat MPO AJI Samarinda ini.
Tika menegaskan bahwa keberadaan RUU Penyiaran ini sebenarnya hanya satu dari sekian banyak upaya pemerintah untuk membatasi kebebasan pers di Indonesia. Oleh sebab itu dia mendorong agar seluruh jurnalis terutama di Bontang memilili sikap dan solidaritas yang sama dalam menolak RUU ini. Sebab bila ini dibiarkan, demokrasi Indonesia akan menemui awan hitam berkepanjangan.
“Kalau diam dan UU ini diketok, aetinya ada konsekuensi besae dan ujungnya terjadi kemunduran demokrasi,” tegasnya.
Sementara itu, topik ketiga terkait sengketa pers yang penyelesaiannya tumpang tindih di KPI dan Dewan Pers diulas oleh Ketua PWI Bontang, Suriadi Said. Ada sejumlah pasal di RUU ini yang membuat kewenangan KPI dan Dewan Pers tumpang tindih. Misalnya dalam Pasal 8A huruf q, tertulis KPI dalam menjalankan tugasnya berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.
Menurut Isur– sapaan akrabnya– keberadaan pasal ini malah membuat mundur kualitas jurnalisme di Indonesia. Ini bertentangan dengan semangat terbitnya UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers patut dijadikan acuan karena menjamin kebebasan pers secara baik seperti menghapus penyensoran dan pembredelan.
“RUU Penyiaran yang saat ini berproses di DPR layak ditolak,” kata ketua PWI Bontang ini.
Masih di draf RUU Penyiaran, dalam Pasal 42 ayat 2, dan Pasal 51 huruf E juga mengatur persoalan sengketa pers. Dalam aturan ini disebutkan, sengketa jurnalistik akan menjadi urusan KPI dan semua sengketa harus diselesaikan di persidangan. Isur menegaskan, keberadaan pasal-pasal ini makin membuat kerja jurnalis makin berat sebab konsekuensi hukum yang mereka hadapi makin besar dan nyata.
“Revisi UU Penyiaran ini harus dilawan karena akan memberikan dampak negatif bagi kebebasan pers. Kebebasan pers mendorong terwujudnya kedewasaan demokrasi dan berpolitik,” bebernya.
Setelah memparkan ulasan terkait pasal-pasal bermasalah di RUU Penyiaran, sesi selanjutnya ialah tanya-jawab, sharing, dan berbagi pendapat antara narasumber dan peserta. Banyak peserta yang menyampaikan kekhawatirannya akan keberadaan RUU ini yang bukan saja mengancam kerja jurnalis, tapi juga kebebasan berekspresi warga.
Misalnya seperti diungkapkan Redaktur KlikKaltim.com, Bernadus Ikhwal. Dia mengatakan jurnalis dan warga harus bersolidaritas menolak draft RUU Penyiaran ini. Oleh sebab itu, dia mengusulkan bahwa pengusul RUU ini mestinya mendapat sanksi moril dari warga. Harapannya, si pengusul dan anggota DPR lain kelak tidak mengusulkan tawaran regulasi yang justru merugikan warga.
“Ini kan produk poltik. Jadi mestinya warga bisa kompak, ramai-ramai beri sanksi moral ke pengusul. Biar kapok,” tegasnya.
Di akhir kegiatan, gabungan jurnalis ini mengambil sikap bersama terkait draf RUU Penyiran. Ada lima poin sikap bersama, yakni:
1. Menolak draf RUU Penyiaran yang tidak melibatkan komunitas pers dan masyarakat sipil;
2. Mengusulkan menunda atau pembatalan pembahasan draf RUU Penyiaran;
3. Menyerukan kepada komunitas pers untuk mengawal draf RUU Penyiaran;
4. Menyerukan kepada wartawan atau media menolak draf RUU Penyiaran
5. Membuat hasil yang disampaikan ke DPRD Bontang.