SAMARINDA – Tiga kali dipanggil. Tiga kali tak datang. Begitulah manajemen Rumah Sakit Haji Darjad alias RSHD Samarinda menanggapi panggilan mediasi dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Samarinda.
Panggilan pertama dilayangkan 6 Mei 2025. Yang kedua, 20 Mei. Dan terakhir, 23 Mei. Semuanya diabaikan.
Padahal, isi panggilan itu penting. Tentang nasib 57 karyawan dan eks karyawan RSHD. Tentang upah yang belum dibayar. Tentang hak-hak mereka yang tak kunjung dipenuhi.
Karena mediasi tak pernah benar-benar terjadi, Disnaker akhirnya angkat tangan. Mediator I. M. Hilman D. mengeluarkan anjuran resmi, bernomor 257/144/100.04, tertanggal 27 Mei 2025.
Isinya; Disnaker Samarinda menyimpulkan bahwa perselisihan ini tidak bisa diselesaikan secara musyawarah.
Ardiansyah Putra, mewakili 57 orang tersebut, menjelaskan duduk perkaranya. Ada yang gajinya belum dibayar tiga bulan. Ada pula yang empat bulan. Semua terhitung sejak Januari hingga April 2025.
Status mereka juga beda-beda. Ada yang masih aktif. Ada yang sudah resign. Dari 57 orang, 48 sudah mengundurkan diri, sebagian besar dengan masa kerja di atas 3 tahun. Sisanya, 9 orang masih bekerja, tapi tetap tak digaji.
Tuntutan mereka jelas. Hak harus dibayar lunas. Tanpa diangsur. Tak hanya soal gaji pokok. Tapi juga: Kekurangan upah karena tak sesuai UMK Samarinda 2025; Denda keterlambatan gaji; Uang pisah; Upah lembur
Dan yang paling serius: tunggakan BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan. BPJS Kesehatan, katanya, sudah tak dibayar sejak Juni 2024. BPJS Ketenagakerjaan, bahkan mangkrak setahun.
Ruang sabar mereka mulai habis. Setelah anjuran Disnaker tak digubris, opsi terakhir pun disiapkan.
“Kami akan bawa ini ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Tapi juga mempertimbangkan langkah pidana,” tegas Ardiansyah, Senin (16/6/2025).
Mereka, karyawan rumah sakit. Bekerja untuk menyelamatkan nyawa. Tapi kini mereka malah memperjuangkan hidupnya sendiri. Dan, manajemen RSHD Samarinda masih diam. Seperti rumah kosong di tengah kota.
[DIAS]
Tidak ada komentar