Anggota Komisi I DPRD Kaltim Diolk Agung Elko Wahono
SAMARINDA – Sengketa lahan antara warga dan perusahaan terus bermunculan di Kalimantan Timur (Kaltim). Tapi, pemerintah daerah tak bisa berbuat banyak.
Bukan karena malas. Bukan pula karena tak peduli. Tapi karena memang tidak diberi kuasa.
Itu disampaikan Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Didik Agung Eko Wahono. Politisi PDI Perjuangan itu blak-blakan soal lemahnya peran daerah dalam menangani konflik tanah dan tumpang tindih lahan.
“Banyak masyarakat yang datang mengadu ke kami. Tapi semua mentok di satu hal: keterbatasan kewenangan,” kata Didik, Senin (26/5).
Menurutnya, sejak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 diberlakukan, banyak urusan penting justru ditarik ke pusat. Termasuk soal perizinan dan pengawasan pertambangan.
“Kalau dulu daerah bisa beri atau cabut izin, sekarang tidak lagi. Itu semua wewenang pusat. Daerah hanya mengawasi dan melaporkan,” tegasnya.
Didik menyebut, Komisi I sudah berkali-kali menggelar rapat dengar pendapat (RDP). Tapi masalah yang dibahas ya itu-itu saja. Lahan warga bersinggungan dengan perusahaan tambang, sawit, atau izin usaha lain dari Jakarta.
“Konfliknya klasik. Tapi solusinya mandek. Karena kita di daerah tidak diberi ruang untuk bertindak,” ujarnya.
Lalu bagaimana solusinya?
Didik mendorong agar undang-undang ditinjau ulang. Menurutnya, perlu ada revisi agar pemerintah daerah diberi kembali kewenangan menangani masalah pertanahan dan perizinan yang menyangkut wilayahnya sendiri.
“Kalau kewenangan ini dikembalikan ke daerah, saya yakin penyelesaiannya bisa lebih cepat. Karena kami yang langsung berhadapan dengan masyarakat,” pungkasnya. [ADS/JS]
Tidak ada komentar