DLH Kaltim: Debu Batu Bara dan Tumpahan STS Ancam Ekosistem Laut

Redaksi
4 Agu 2025 22:06
2 menit membaca

SAMARINDA – Aktivitas pemindahan batu bara dari tongkang ke kapal induk atau yang dikenal dengan Ship to Ship (STS) kembali menjadi sorotan. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menyebut kegiatan ini sebagai penyumbang utama pencemaran perairan di wilayah Kaltim.

Peringatan ini disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Mitigasi Tumpahan Batu Bara di Perairan Kaltim, yang digelar di Gedung E DPRD Kaltim, Senin (4/8/2025).

Kepala Bidang Penaatan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup DLH Kaltim, Rudiansyah, menegaskan bahwa kegiatan bongkar muat di laut, termasuk STS dan pembersihan tongkang, memberikan kontribusi nyata terhadap pencemaran lingkungan.

“Dari semua tahap kegiatan batu bara, aktivitas di perairan paling berdampak terhadap lingkungan. Debu dan tumpahan materialnya sulit dikendalikan,” ujar Rudiansyah.

Menurutnya, titik rawan berada di area antara tongkang dan kapal induk. Di sinilah banyak celah terbuka yang memungkinkan debu beterbangan dan material jatuh ke laut. Ia menyoroti penggunaan alat angkut (grab crane) yang tinggi dan tidak tertutup rapat sebagai biang utama.

Untuk menekan dampak pencemaran, DLH Kaltim mendorong penggunaan alat penyemprot debu saat proses pemuatan. Teknologi ini dinilai efektif mengikat debu agar tidak menyebar ke udara maupun ke permukaan laut.

“Kami sarankan penggunaan teknologi semprot, baik di pelabuhan maupun saat STS berlangsung,” kata Rudiansyah.

Selain itu, ia juga menegaskan perlunya menutup rapat alat angkut serta menutup celah antara tongkang dan kapal induk dengan pelindung khusus.

DLH Kaltim juga menentang praktik pembersihan sisa batu bara di tongkang dengan cara memindahkannya ke kapal kecil. Metode ini dianggap tidak sesuai aturan.

“Sejak 2013 kami tidak pernah memberikan izin untuk metode itu. Sisa batu bara bukan limbah dalam definisi undang-undang, tapi bukan berarti bisa dibuang sembarangan,” tegas Rudiansyah.

Ia juga menyoroti lemahnya regulasi di sektor ini. Permen LHK Nomor 4 Tahun 2012, yang menjadi acuan, dinilai belum menyentuh aktivitas pengangkutan dan STS secara spesifik.

“Peraturannya lebih fokus ke area tambang dan pasca-reklamasi. Sementara aktivitas di laut, justru yang paling berisiko, belum banyak disentuh,” jelasnya.

Karena itu, DLH Kaltim mendorong adanya pengawasan ketat dan revisi regulasi agar seluruh proses—mulai dari tambang hingga pengangkutan—benar-benar ramah lingkungan.

DLH Kaltim mengingatkan bahwa perairan Kaltim adalah aset penting bagi ekosistem dan mata pencaharian warga pesisir. Tumpahan batu bara dan debu yang mencemari laut akan berdampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.

“Ini persoalan serius. Butuh kepatuhan semua pihak, bukan hanya tambang, tapi juga operator kapal dan pengelola pelabuhan,” tegas Rudiansyah. (TIA)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

@media print { .c-float-ad-left { display: none !important; } .c-float-ad-right { display: none !important; } .c-author { display: none !important; } } .c-float-ad-left { display: none !important; } .c-float-ad-right { display: none !important; } .c-author { display: none !important; } .c-also-read { display: none !important; } .single-post figure.post-image { margin: 30px 0 25px; } #pf-content img.mediumImage, #pf-content figure.mediumImage { display: none !important; }