BALIKPAPAN — Warisan budaya Kalimantan kini punya rumah baru. Bukan di museum atau perpustakaan fisik. Tapi di genggaman tangan, lewat sebuah aplikasi digital bernama Pustaka Borneo.
Langkah ini diinisiasi oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Tujuannya jelas: menyelamatkan budaya lokal yang nyaris punah dan memperluas akses literasi digital bagi generasi masa kini.
“Perpustakaan sekarang tidak hanya tempat membaca. Ia harus menjadi pusat pelestarian budaya,” ujar Endang Effendi, Kepala Bidang Deposit, Pelestarian, dan Pengembangan Koleksi Bahan Perpustakaan DPK Kaltim, usai sosialisasi aplikasi Pustaka Borneo di Balikpapan, Kamis (7/8).
Pustaka Borneo bukan sekadar aplikasi. Ia adalah arsip digital yang menyimpan jejak sejarah, naskah kuno, kisah lokal, hingga kesenian khas Kalimantan. Semua dikumpulkan, dikurasi, dan dibuka untuk publik.
Aplikasi ini dikembangkan berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Kalimantan Timur pun ditunjuk sebagai pusat pelestarian budaya untuk seluruh wilayah Kalimantan.
Isinya beragam. Dari sejarah julukan Balikpapan sebagai Kota Minyak, cerita kampung tua, hingga tarian Hudoq, musik tradisional, dan manuskrip tulisan tangan berusia lebih dari 50 tahun yang belum pernah diterbitkan.
“Banyak kekayaan budaya kita yang selama ini tercecer. Melalui Pustaka Borneo, kami kumpulkan kembali agar tidak hilang ditelan zaman,” jelas Endang.
DPK Kaltim tak bekerja sendiri. Masyarakat diajak terlibat langsung. Baik individu, komunitas, sejarawan, hingga peneliti, semuanya bisa ikut menyumbang konten budaya. Cukup menyerahkan salinan atau informasi. Tak perlu melepas dokumen asli.
“Semua bisa berkontribusi. Karena budaya bukan milik satu orang atau satu instansi. Ini tanggung jawab bersama,” ujarnya.
Target pengguna pun luas. Mulai dari pelajar, mahasiswa, ASN, hingga masyarakat umum. Harapannya, budaya Kalimantan tak hanya dikenang, tapi terus hidup dan berkembang di tengah arus digitalisasi.
Pustaka Borneo hadir sebagai jembatan antara literasi digital dan pelestarian budaya. Di tengah dunia yang makin cepat berubah, aplikasi ini mencoba memperlambat waktu—agar yang tua tak lekang, dan yang muda tetap paham akar budayanya.
“Lewat digitalisasi, kami ingin menjaga memori kolektif Kalimantan agar tidak terputus di generasi mendatang,” pungkas Endang.
Tidak ada komentar