Dalam buku “Jalan Damai Rasulullah” karya Fuad Abdurrahman, malam itu adalah 12 Rabiul Awal, saat bulan purnama hampir sempurna dan memancarkan cahaya begitu terang dan bersih, mengedarkan cahaya terindahnya bagi penduduk Makkah. Cuaca juga terasa sejuk malam itu. Itulah malam ke-50 dari kehancuran pasukan Abrahah.
Ummu Aiman memanggil asy-Syifa binti Auf untuk menemani Aminah ketika melahirkan bayinya. Beberapa saat kemudian, lahirlah putra Aminah.
Wajah bayi itu memancarkan cahaya dan menyinari segala sesuatu di sekitarnya. Bayi itu diterima oleh asy-Syifa dengan bahagia, kemudian dia serahkan kepada Aminah. Dan, Aminah tentu lebih bahagia lagi menerimanya. Aminah segera memerintahkan Umma Aiman untuk mengabari Abdul Muthalib tentang kelahiran bayinya.
Abdul Muthalib yang menerima berita kelahiran bayi Aminah dari Ummu Aiman, segera bangkit meninggalkan ka’bah menuju rumah Aminah. Ia segera mengambil bayi suci itu dengan kehangatan seorang ayah dan kakek. Tentu saja, ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena anugerah yang Allah berikan kepadanya.
Aminah berkata kepada Abdul Muthalib, “Aku memberinya nama Muhammad, sebagaimana yang diperintahkan oleh pembawa suara misterius itu.”
Abdul Muthalib berkata, “Segala puji hanya milik Allah.” “Pembawa suara misterius itu mengabarkan bahwa bayi ini akan menjadi pemimpin umat ini,” lanjut Aminah.
Abdul Muthalib membenarkan apa yang dikatakan oleh Aminah, bahwa cucunya ini akan menjadi pemimpin kaumnya karena semua bukti memperkuat hal tersebut. Kemudian, ia menggendong cucu kesayangannya itu untuk tawaf di sekitar kabah.
Usai melaksanakan tawaf, Abdul Muthalib kembali ke rumah Aminah sambil membawa bayi Muhammad. Di tengah perjalanan, ia melihat sekelompok orang yang sedang mengerumuni seorang kakek Yahudi. Si kakek itu berkata kepada mereka, “Wahai orang-orang Quraisy, demi kebenaran Taurat, tadi malam telah lahir seorang bayi yang merupakan Nabi umat ini.”
Orang-orang terkejut mendengar ucapannya, tetapi tidak mengerti sepenuhnya apa maksud ucapan tersebut. Abdul Muthalib juga mendengar ucapan si kakek Yahudi itu. Bayi yang digendong Abdul Muthalib itulah yang akan menjadi nabi umat ini.
Aminah bergantian dengan Tsuwaibah menyusui Muhammad SAW kecil selama beberapa hari, hingga datang rombongan para wanita yang biasa menyusui bayi dari bani Saad ke Makkah.
Mereka datang untuk mencari bayi-bayi yang akan disusui dengan sejumlah imbalan, dan mencari bayi yang ayahnya orang kaya.
Hal ini menjadi tradisi yang biasa mereka lakukan. Salah seorang wanita yang datang adalah Halimah as-Sa’diyah. la datang terlambat hingga tidak mendapatkan seorang bayi seperti yang lainnya. Teman-teman Halimah tidak mau menerima bayi Aminah, Muhammad, karena beliau seorang yatim.
Abdul Muthalib memberi tahu Halimah tentang cucunya yang baru beberapa hari lahir. Pada mulanya, Halimah enggan menerima bayi Muhammad karena yatim.
Namun, karena tidak mendapatkan seorang bayi pun, akhirnya ia mau menerima bayi Muhammad untuk disusui. Selain itu, bayi Muhammad juga dipandang terhormat karena ia adalah cucu dari seorang pembesar Kota Makkah, Abdul Muthalib. (*)