PANDEMI selalu berskala global, tapi angka 19 pada pandemi kali ini menyentakkan kesadaran kita pada dimensi waktu yang erat berkelindan dengan wabah semesta ini. Angka itu menggarisbawahi suatu titik awal sebagaimana ditengarai manusia, tentu saja, sekaligus memungkinkan kita untuk mengukur kecepatan sebaran, keparahan dampak, dan sekaligus menolok respons yang telah dilakukan. Berapa banyak yang tertular, dites, sakit, meninggal, sembuh dan tervaksinasi menjadi paparan big data yang selalu menarik untuk ditelaah dan ditafsirkan.
Angka 19 merampatkan seantero bumi pada suatu kondisi yang setara saat badai global melanda. Sementara, manusia berkehidupan dan berkediaman dengan cara yang berbeda-beda. Dalam kerangka ini semua pemahaman dan upaya manusia dipahami dalam format waktu yang flat.
Kalimat sejarawan Yuval Noah Harari di awal pandemi tentang, “Kita semua dihempas badai yang sama tapi berada dalam perahu yang bebeda-beda,” perlu untuk ditelaah lebih dalam untuk bisa menyimpulkan apakah kapal besar bermesin yang lebih tangguh menerjang ombak atau justru sampan-sampan kecil berdayung yang lincah berkelit dari gelombang.
Pandemi kali ini bersekutu erat dengan teknologi informasi. Semua relasi bergantung pada jejaring TI termasuk belajar, bekerja, ibadah, makan, hiburan, serta berbagai relasi lainnya seperti pulang kampung dan perhelatan nikah. Dinding-dinding batas ruang yang membentuk keberadaan dan relasi tersebut dihancurkan atau paling tidak dibobol sana-sini agar kita dapat menjalin hubungan baru sehingga kehidupan masih bisa diselenggarakan. Ruang keluarga di rumah tidak hanya menjadi tempat makan dan berbincang dengan keluarga secara nyata, tapi juga bekerja, kuliah, belanja, dan menonton berbagai hiburan secara maya.
Kapal dalam metafora Harari yang berskala besar mungkin berupa kampus universitas, kantor konsultan, ataupun negara yang keberhasilannya bergantung pada kesuksesan sampan-sampan kecil yang bernama rumah.
Dalam terpaan pandemi, manusia menguraikan balok-balok lego pembentuk ruang dan bangunan agar dapat menyusunnya kembali menjadi arsitektur yang lebih relevan dengan situasi saat pandemi yang akan mereda tapi mungkin tak pernah sirna; serta teknologi informasi yang kian bersicepat dan menggurita sehingga merambah sendi-sendi kehidupan kita.
Menyusun ruang memerlukan basis kognitif yang solid. Penjara hanya bisa dibangun ketika pengawasan dan penertiban diyakini mampu mengubah penjahat menjadi warga yang baik. Sel dan barak menjadi perangkat yang mampu mengubah diri dengan mendisplinkan raga. Logika yang sama kita jumpai di pembentukan rumah sakit, sekolah, pabrik dan bangunan institusional lainnya. Masa depan akan menjadi lebih baik jika mesin-mesin pentransformasi itu dapat dioperasikan dengan paripurna.
Masih terasa jengah ketika ada visi lembaga pendidikan tinggi yang diawali dengan “Mencetak lulusan yang…” Seolah-olah prosedur institusional dan spasial tersebut dapat bersekutu padu dalam mekanisme “pencetakan lulusan” laksana Lembaga Pemasyarakatan yang menjamin “alumni”-nya menjadi warga masyarakat yang baik.
Ketika saat ini, ruang harus disusun ulang maka hadir pertanyaan skenario macam apa yang akan dipergelarkan di dalam ruang baru tersebut. Pandemi begitu cepat merebak, dan kecakapan kita untuk merumuskan kesepakatan skenario belum terlalu dapat diandalkan. Sayangnya putaran waktu tak memberi kita banyak kesempatan untuk menata segala sesuatu.
Ayat, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. 13: 11) dimaknai dengan penekanan pada ikhtiar sebelum pertolongan Allah. Tapi sisi lain dari ayat ini adalah bahwa kondisi itu bersifat kolektif (bi qaumin) sementara perbaikan kondisi berpangkal pada inisiasi individual (bi anfusihim). Untuk itu, manusia menjadi berpaling kepada diri sebagai agen perubahan berhadapan dengan kolektivitas sebagai realita.
Saat ini, diri tersebut ditantang untuk mengajukan jawaban tentang dunia yang berubah dalam ketidakpastian ini. Rumah bukan hanya ruang hunian atau tempat tinggal tetapi menjadi pangkalan untuk relasi dan produksi yang akan selalu berubah. Revolusi Industri telah mencerabut sisi produksi dari rumah sehingga hanya menjadi sekumpulan bilik konsumsi. Saatnya para ranah domestik berperan kembali untuk menjadi situs produksi yang akan menentukan jalannya perubahan dan perkembangan dunia.
Masa depan tampaknya akan kembali didominasi oleh rumah; tapi lengkap antara sisi produksi dan konsumsinya. Rumah kita menjadi Kampus dan bangunan Kampus juga mungkin dikonversi menjadi rumah.
Beberapa pekan yang lalu, tepatnya 16 Maret 2021, Anugerah Pritzker yang dianggap paling prestisius di dunia arsitektur diterima oleh Anne Lacaton and Jean-Philippe Vassal dari Prancis. Harian Los Angeles Time menggarisbawahi karya mereka sebagai “anti arsitektur” lantaran mereka lebih banyak merenovasi atau mentransformasikan bangunan lama yang telantar untuk mendapatkan fungsi baru.
Selama ini keunggulan utama seorang arsitek tercermin dalam kreativitas mereka dalam mencipta bentuk, sementara mereka tidak mencipta bentuk tapi lebih menyelaraskan dengan bangunan fisik yang sudah ada. Kedua orang ini mengingatkan semua bahwa menghargai bangunan yang sudah ada dan meningkatkan nilai bangunan tersebut sangatlah penting. Dengan berprinsip never demolish, mereka tak memubadzirkan konstruksi yang sudah ada dengan membongkarnya tapi justru mengapresiasi dan meningkatkan nilainya.
Di masa mendatang kecakapan seperti ini sungguh diperlukan mengingat akan banyak perubahan ruang untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan relasi dan standar-standar kesehatan. Akan tetapi kebutuhan tersebut tidak harus dipenuhi dengan membongkar dan membuat bangunan baru. Bangunan yang paling ramah lingkungan memang adalah bangunan yang sudah didirikan. ***
Oleh Dr Ir Revianto Budi Santoso M Arch (Dosen Arsitektur UII, Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Alumni, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII)