SANGATTA – Hutan Adat Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, sedang menjerit. Bukan karena pohonnya ditebang. Bukan pula karena satwa diburu. Tapi karena jalannya rusak parah.
“Sudah enam bulan ini jalan hancur. Kami kesulitan untuk patroli,” ujar Yuliana Wetuq, Ketua Petkuq Mehuey (penjaga hutan adat Wehea), Senin (29/9).
Wehea bukan hutan sembarangan. Luasnya 29 ribu hektare. Selama ini dijaga dengan sepenuh hati oleh masyarakat adat Dayak Wehea.
Tapi jalan yang menghubungkan pos-pos penjagaan kini hampir putus. Patroli terhambat. Pengawasan terganggu. Intensitas penjagaan pun menurun.
“Kalau jalannya rusak, otomatis mobil rusak. Motor juga rusak. Lalu bagaimana kami bisa bawa logistik, bahan bakar, atau sekadar masuk ke hutan?” keluh Yuliana.
Nama Hutan Adat Wehea pernah harum di kancah internasional. Pada 2008, kawasan ini meraih III Schooner Prize Award di Vancouver, Kanada.
Namun 17 tahun berlalu, perhatian pemerintah nyaris tak terlihat. Selama ini penjagaan hanya mengandalkan swadaya masyarakat dan dukungan pihak swasta.
“Pemerintah kabupaten tidak pernah bantu kami. Semua ini murni inisiatif masyarakat adat. Kami hidup dari hutan, jadi kami yang menjaga,” tutur Yuliana.
Ia berharap pemerintah tidak abai. Perbaikan jalan dan dukungan operasional sangat dibutuhkan.
“Maksud kami itu, tolonglah dibantu. Entah perbaikan jalan, entah operasional. Supaya hutan tetap aman. Kalau tidak dijaga, hutan akan habis,” tegasnya.
Hutan Adat Wehea adalah benteng terakhir bagi banyak satwa langka di Kutim. Jika jalannya rusak dan penjaganya patah arang, nasib hutan ini bisa tinggal cerita. (HAF/PRA)
Tidak ada komentar