Kopi Liberika, ‘Emas Hitam’ dari Pulau Borneo

Biji liberika yang masih belum matang di kebun kopi Desa Kumpai Batu Atas, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah,

PULAU Kalimantan selama ini lebih dikenal sebagai daerah penghasil batu bara. Padahal selain batu bara, masih ada satu lagi emas hitam di tanah Borneo. Kopi liberika namanya. Memang tidak seterkenal dua saudaranya, kopi arabika dan robusta.

Kopi Liberika merupakan jenis kopi berasal dari Liberia dan Afrika Barat. Kopi ini bisa tumbuh sampai ketinggian 9 meter dari permukaan tanah.

Kopi Liberika khas berasal Kalimantan kian diminati masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kopi ini tersebar di beberapa Pulau Borneo. Diantaranya di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Adapula di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.

Sejarah masuknya kopi jenis ini, tidak bisa lepas dari sejarah perdagangan Indonesia dan masuknya kolonial Belanda. Tepatnya pada abad ke-19, kopi ini pertama kali didatangkan ke Indonesia. Tujuannya untuk menggantikan kopi Arabika yang terserang oleh hama penyakit.

Kopi liberika mempunyai julukan kopi nangka. Selain karena aromanya yang memang seperti buah nangka, tapi juga karena tinggi pohonnya bisa mencapai 9 meter. Buah kopi (cherry) kopi liberika mempunyai ukuran yang relatif besar. Bentuknya bulat lonjong dengan panjang sekitar 18 sampai 30 mm, serta memiliki dua biji kopi. Biji kopinya bisa mencapai panjang sekitar 7 sampai 15 mm.

Meskipun buahnya mempunyai ukuran yang besar, namun hanya memiliki bobot kering 10 persen dari bobot basahnya. Artinya setelah proses penjemuran, terjadi penyusutan hampir 90 persen. Menyebabkan biaya panen menjadi lebih mahal. Hal ini kemudian membuat petani kopi kurang menyukai dan enggan menanam kopi jenis liberika ini.

Biji liberika yang masih belum matang di kebun kopi Desa Kumpai Batu Atas, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah,

Sedangkan dari sisi penikmat kopi, aromanya yang cukup tajam membuat kopi ini kurang diminati. Jadi tidak heran jika kopi ini jarang disajikan di kedai-kedai kopi. Jenis kopi liberika ini mempunyai beberapa karakteristik dasar, antara lain :

  1. Ukuran daun, cabang, bunga, buah dan pohon lebih besar dibandingkan kopi Arabika maupun Robusta.
  2. Lebih tahan terhadap penyakit karat daun
  3. Kualitas buah relatif rendah
  4. Produksi sedang, (4,-5 ku/ha/th) dengan rendemen ± 12%
  5. Dapat berbuah sepanjang tahun
  6. Mempunyai aroma seperti buah nangka
  7. Tumbuh baik di dataran rendah

Ada beberapa varietas kopi liberika, yang paling terkenal adalah kopi Excelsa (Coffea liberica var.Dewefrei). Buahnya lebih kecil dari kopi Liberika biasa. Lalu ada Ardoniana dan Durvei yang pernah didatangkan ke Indonesia.

Kopi memiliki aneka rasa buah-buahan dan semakin diminati pasar atau penikmat kopi dan bahkan sudah dikenal luas di Nusantara. Hal itu karena tumbuh di pesisir pantai dan di sekitar kebun kopinya terdapat tumbuh-tumbuhan liar seperti jambu monyet dan lainnya sehingga memengaruhi rasa pada kopi.

Pemilik Kopi Jago Jalanan (Kojal), Kalteng, Gusti Iwan Dermawan mengemukakan, kopi Liberica ini bernilai dan memiliki potensi tinggi serta semakin berkembang dengan olahan yang sangat baik dari petani, sehingga memiliki cita rasa yang khas dari kopi itu sendiri.

“Kita sedang mempertahankan kualitas biji kopi agar tidak ada perubahan dari rasanya. Dengan demikian, pelanggan tetap percaya dengan rasa yang konsisten.Yang terpenting juga petani tetap menjaga pascapanen,” ungkapnya.

Dia bilang kopi Liberica sudah bergerak dan berkembang di beberapa kota di Kalbar maupun di luar daerah tersebut. Perkembangannya sangat baik dan proses olahannya juga semakin baik dari petani Kayong Utara.

“Kami juga sudah membuka cabang di Singkawang dan Pontianak bahkan luar kota seperti Malang, Jakarta, Tangerang, Bogor, Bandung, Depok, dan Madiun,” paparnya. **

 

Penulis: M Junaidi

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

@media print { .c-float-ad-left { display: none !important; } .c-float-ad-right { display: none !important; } .c-author { display: none !important; } } .c-float-ad-left { display: none !important; } .c-float-ad-right { display: none !important; } .c-author { display: none !important; } .c-also-read { display: none !important; } .single-post figure.post-image { margin: 30px 0 25px; } #pf-content img.mediumImage, #pf-content figure.mediumImage { display: none !important; }