Samarinda, NEWSBORNEO.ID – Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim), Rudy Mas’ud, melayangkan kritik tajam terhadap kebijakan fiskal nasional yang dinilai tidak berpihak kepada daerah penghasil sumber daya alam. Hal ini disampaikan menyusul penurunan dana transfer dari pemerintah pusat ke Provinsi Kaltim pada tahun anggaran 2024.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kaltim, Muhammad Syaibani, menyebutkan bahwa tahun ini Kaltim hanya menerima Rp93,54 triliun. Jumlah ini turun signifikan dibanding tahun sebelumnya yang nyaris menyentuh angka Rp100 triliun.
“Kalau tahun lalu hampir Rp100 triliun, tahun ini Kaltim turun menjadi Rp93,54 triliun,” ungkap Syaibani dalam rapat bersama Gubernur Rudy Mas’ud di Samarinda, Rabu (16/4/2025).
Dari total dana tersebut, alokasi terbesar yakni sebesar Rp51,61 triliun diberikan kepada kementerian dan lembaga. Sisanya disalurkan ke pemerintah daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
Syaibani menjelaskan bahwa dinamika dana transfer daerah sangat dipengaruhi oleh harga komoditas unggulan seperti batu bara, serta meningkatnya belanja negara yang difokuskan pada pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Dana transfer terus berfluktuasi. Tahun 2020 tercatat sebesar Rp32,26 triliun, lalu turun menjadi Rp30,30 triliun pada 2021, kemudian naik signifikan pada 2022 menjadi Rp54,36 triliun, dan melonjak pada 2023 menjadi Rp87,40 triliun,” paparnya.
Gubernur Kaltim dalam pertemuan itu menyampaikan kekhawatirannya atas ketimpangan antara kontribusi ekonomi Kaltim terhadap penerimaan negara dengan besarnya dana yang kembali ke daerah.
“Kaltim ini luar biasa. Kita transfer Rp700 triliun ke negara, tapi yang dikembalikan cuma Rp100 triliun. Itu pun sebagian besar ke kementerian dan lembaga pusat, bukan ke pemda,” tegas Rudy.
Ia menilai distribusi dana yang lebih besar ke lembaga pusat justru mengurangi peran dan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola kebutuhan masyarakat secara langsung.
“Kami ini yang tahu kebutuhan masyarakat, tapi anggarannya justru dikelola pusat. Ini soal keadilan, bukan soal minta lebih,” lanjutnya.
Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Kaltim juga menyoroti berbagai permasalahan mendasar di wilayahnya, mulai dari akses jalan rusak, desa yang masih terisolasi, hingga keterbatasan listrik.
“Ada ratusan desa di Mahakam Ulu, Kutai Barat, dan Kutai Timur yang gelap gulita. Di atas kertas rasio elektrifikasi kita 99 persen, tapi realitanya, masih banyak desa belum terang,” ujar Rudy.
Ia juga menyoroti rendahnya tingkat pendidikan, dengan partisipasi pendidikan tinggi hanya mencapai 12 persen.
Rudy menegaskan bahwa akar dari ketimpangan fiskal dan lambatnya pembangunan di daerah terletak pada minimnya kewenangan daerah akibat regulasi yang terlalu sentralistik.
“Daerah disuruh mandiri, tapi tidak diberi kewenangan. Banyak keputusan penting justru ditentukan lewat peraturan menteri atau keputusan menteri. Ini membuat ruang gerak kami terbatas,” tegasnya.
Meski mendukung prinsip subsidi silang antar-daerah, Rudy mengingatkan bahwa daerah seperti Kaltim juga berhak mendapatkan prioritas pembangunan.
“Kami tidak menolak berbagi untuk pembangunan nasional. Tapi masyarakat kami juga masih banyak yang belum merasakan kehadiran negara secara utuh. Sudah waktunya dana itu dialirkan lebih adil, dengan porsi yang memadai untuk daerah penghasil,” pungkasnya. (*)
Artikel ini sudah tayang di pranala.co Berjudul Gubernur Rudy Kritik Kebijakan Dana Transfer: Kontribusi Rp700 Triliun, Kaltim Hanya Terima Rp93 Triliun