Sekolah Reyot di Tapal Batas Bontang-Kutim, Saat Anak-anak Belajar di Tengah Puing Harapan

Redaksi
1 Agu 2025 13:57
2 menit membaca

BONTANG – Anda masih ingat Laskar Pelangi? Film itu pernah membuka mata kita: bahwa ada sekolah berdinding papan, beratap bocor, tapi penuh mimpi dan tawa anak-anak. Tapi itu film. Ini nyata. Terjadi di Sidrap, ujung Bontang yang disengketakan.

Namanya SD Yayasan Bina Karya. Sekolah kecil yang berada di batas administratif antara Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur. Di sinilah 22 murid masih belajar. Dalam dua ruangan sempit yang dulunya adalah ruang guru dan ruang kepala sekolah.

Enam ruang kelas lainnya, ditinggalkan. Bukan karena tak butuh, tapi karena tak berani dipakai.

“Atapnya sudah rapuh. Takut ambruk kalau hujan deras,” kata Kepala Sekolah Rusmiati, sambil menunjuk bangunan tua di sampingnya, Jumat (1/8).

Dulu, sekolah ini ramai. Muridnya ratusan. Bahkan sempat jadi kebanggaan warga Sidrap. Tapi sejak status tapal batas Bontang-Kutim jadi polemik, nasib sekolah ini ikut mengambang. Bontang tak bisa lagi bantu, karena khawatir dianggap melanggar aturan. Sementara Kutim—yang merasa wilayah itu miliknya—tidak mengalokasikan anggaran sepeser pun.

“Dulu Bontang masih bantu. Sekarang serba salah. Kami masih dapat dana BOS, tapi cuma buat operasional. Perawatan gedung? Tidak ada,” kata Rusmiati.

Setengah Mati Bertahan

Bangku-bangku patah. Dinding retak. Lantai mengelupas. Tapi anak-anak itu tetap datang. Mereka ingin belajar. Meski sekolahnya seperti menunggu ajal. Tahun ajaran baru hanya diisi tiga siswa baru. Selebihnya, kursi-kursi kosong menatap pilu.

Menarik iuran dari orang tua juga tak mungkin. “Mayoritas orang tua murid di sini tidak mampu. Kalau kami paksa, bisa-bisa anak mereka berhenti sekolah,” ujarnya lirih.

Warga Sidrap sendiri hidup seperti ‘tamu’ di rumah sendiri. Diakui masuk Kutim, tapi segala urusan—sekolah, berobat, hingga bikin KTP—masih ke Bontang.

SD Yayasan Bina Karya adalah potret ironis dari sebuah konflik administrasi. Di atas kertas milik Kutim, tapi denyut hidupnya berirama dengan Bontang. Dan karena tarik-ulur itu, sekolah ini jadi korban.

“Kami cuma ingin diperhatikan. Bukan untuk saya, tapi untuk anak-anak,” ujar Rusmiati.

Ia tahu, dirinya tidak bisa banyak berharap. Tapi sebagai guru, ia tetap bertahan. Demi sisa mimpi yang belum sepenuhnya pupus.

Sekolah ini belum mati. Tapi juga belum benar-benar hidup. (FR)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

@media print { .c-float-ad-left { display: none !important; } .c-float-ad-right { display: none !important; } .c-author { display: none !important; } } .c-float-ad-left { display: none !important; } .c-float-ad-right { display: none !important; } .c-author { display: none !important; } .c-also-read { display: none !important; } .single-post figure.post-image { margin: 30px 0 25px; } #pf-content img.mediumImage, #pf-content figure.mediumImage { display: none !important; }